LAYANAN TIDAK DIPERBAIKI, KARGO MENUMPUK DI BANDARA


PENAIKAN tarif pengiriman yang telah diterapkan pihak maskapai penerbangan sebesar 20% hingga 70% tidak diikuti perbaikan pelayanan. Akibatnya, penumpukan barang terus terjadi dan membuat perusahaan jasa pe-ngiriman barang terlambat memenuhi permintaan dari pengguna jasa.

“Tarif dinaikkan, tapi pelayanan tidak ditingkatan bahkan lebih buruk. Ada barang yang telah masuk sejak 4 hari lalu tidak terangkut karena buruknya manajemen kargo dari maskapai penerbangan,” kata Ketua Bidang Transportasi & Infrastruktur DPP Asperindo Hari Sugiandhi di Jakarta, Rabu (12/12).

Hari yang juga Manager PT. Rush Cargo Nusantara ini, menolak anggapan hanya membuat opini, tapi fakta dan bukti nyata ia tunjukan langsung di lapangan dengan mengajak kami mengunjungi gudang kargo bandara Soetta, Kamis (13/12) malam, pukul 20.30 WIB.

Terkait carut marutnya pengelolaan kargo, Hari memaparkan beberapa point penting; Pertama, Sungguh sangat aneh dalam posisi "Peak Season" sekarang ini operator penerbangan justru mengurangi scedule penerbangan yang ini jadi anomaly, yang seharusnya ada extra flight ? What happen?

Kedua, setelah tarif kargo dinaikkan berulang-ulang sampai menyentuh level harga 90% kenaikan kenapa bukannya mereka mengimbangi dengan menambah scedule nya tapi justru mengurangi.

Ketiga, yang sudah resmi menjadi agen dari penerbangan, setelah digebuk dengan kenaikan tarif SMU, sekarang ditambah beban pengurangan "komisi agen" dari semula 7% kini tinggal 3%, Garuda Indonesia akan menerapkannya mulai 15 Desember 2018.

Sepertinya operator sedang "mengejar income" dan berusaha mengeruk sebanyak banyaknya income dari SMU dengan cara memeras keringat para pengguna jasa sebanyak banyaknya.

Dugaan saya, kata Hari, gerakan ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat dan masih alan berlanjut untuk waktu yang cukup lama. Mereka sengaja reduced ‘number of flight’ untuk menciptakan ketergantungan shipper dalam teori ‘supply and demand’.

Kalau supply rendah maka demand akan naik dan pada saatnya ketika shipper dihadapkan pada tidak adanya alternative pilihan, maka kita akan seperti kerbau dicucuk hidungnya, maka berapapun harganya harus kita beli dan betapapun pahitnya harus kita telan. “Itu sebabnya nampak sekali para PolicyMaker dan Policy Holder Penerbangan seperti tutup mata dan telinga, seolah-olah tidak ada masalah dilapangan,” pungkas Hari Sugiandhi. (*)

Berita terkait, Baca epeper Media Indonesia, edisi, 13 December 2018 Halaman 13 atau  Media Indonesia On-Line: https://goo.gl/X5o5EX
***
Share this article :

KLIK GAMBAR DIBAWAH INI UNTUK KE ARTIKEL LAINNYA