TRADISI KALONDO LOPI DI WERA BIMA NTB


Sangat jarang kita bisa melihat langsung dan mengikuti Prosesing Kalondo Lopi (Menurunkan Perahu/Kapal). Jika pun ada, mungkin terjadi hanya sekali dalam 3 tahunan atau 5 tahunan. Lopi yang dimaksud adalah  Lopi Haju Na’e (Baca: Kapal Kayu Besar). Satu-satunya pembuatan Kapal Kayu Besar di Bima hanya ada diwilayah Wera Kab Bima. Mungkin bisa jadi, satu-satunya Lokasi pembuatan Kapal Kayu Besar di Pulau Sumbawa.

Prosesing Kalondo Lopi adalah prosesing yang turun temurun dilakukan oleh Warga Wera khususnya Desa Sangiang Darat. Setidaknya, hingga saat ini sudah ada 39 Kapal Kayu Besar dengan dengan rata-rata kapasitas berat angkut kapal (Tonase) sekitar 90 hingga 250 Ton, yang pernah dibuat di Sangiang Darat. 95 porsen Lopi ini dibuat dari Kayu yang didatangkan khusus dari Kalimantan. Jenis kayu yang digunakan adalah Kayu Hitam (Diospyros celebica) atau kayu besi lainnya.

Khusus Lopi dengan Tonase besar di Sangiang darat, rata-rata dibuat selama 4 tahun, bergantung pula dari kesediaan bahan (kayu) sebagai hal yang utama. Pembuatan Lopi, mulai dari proses pemilihan jenis Kayu Luna (Kayu Khusus untuk dasar Lopi) hingga prosesing Kalondo Lopi, dipimpin oleh Pande Lopi (Baca: Kepala Tukang). Pande Lopibiasanya ditentukan oleh sang empunya hajat pembuatan Lopi.

Selama ini Pande Lopi di Wera Sangiang cenderung didatangkan dari perkampungan Ara, Bulukumba Sulawesi selatan. Sehingga dalam beberapa hal, terkait dengan proses dan atau tekhnis pembuatannya ikut serta tradisi dalam pembuatan Phinisi Sulawesi Selatan atau Perahu Kayu di Bonerate Bulukumba.

Proses pembuatan yang cukup lama ini (rata-rata 3 tahun) mewajibkan ritual-ritual tertentu yang sudah menjadi tradisi. Misalnya seperti pemasangan pondasi Lopi dengan menggunakan Kayu Luna. Pemasangan Pondasi dianggap sakral karena menentukan keseimbangan dan keterapungan Lopi. Pemasangan awal ini menjadi petanda pembuatanLopi di mulai. Pada malam hari, Warga Sangiang selalu memulai dengan Barasanji (doa). Istilah Barasanji atau semacam dzikir bersama ini cukup dikenal luas di Sulawesi Selatan.Barasanji juga dilakukan pada saat Lopi akan ditarik turun kelaut, sebagai petanda bahwaLopi siap berlayar.

Pada saat Lopi ditarik turun kelaut atau dikenal dengan Prosesing Kalondo Lopi ini. Berbagai upacara atau ritual keselamatan diselenggarakan. Diawali dengan ritual Barasanjipada malam hari sebelum Lopi ditarik turun pada pagi hari. Setelah Sholat subuh, menjelang proses Kalondo Lopi, terlebih dahulu dilakukan prosesing upacara Soji ro Sangga yang dipimpin oleh Pandita  Lopi (Ulama atau Tokoh Agama). Dalam upacara Soji Ro Sangga ini ditandai dengan penyembelihan Ayam. Ayam yang disembelih menjadi lauk bagi warga yang akan menarik kapal dipagi nanti. Namun kepala dan ekornya dipisahkan untuk dipasang di anjo (anjungan) dan di Keto Lopi (belakang kapal) dekat baling-baling.

Diikatkannya Kepala Ayam di Anjo dan Kaki Ayam di Keto Lopi, dimaksudkan, agar salah seorang anak dan istri Nabi Nuh, tidak ikut naik diatas Lopi yang menyebabkan Lopimenjadi tidak ber-Rejeki dan selalu mendapatkan musibah ditengah laut. Meskipun hal tersebut Mitos, namun sudah menjadi tradisi warga secara turun menurun dalam prosesKalondo Lopi.

Saat Lopi diturunkan menggunakan Katrol yang ditarik secara bersama-sama, pada saat pertama kali Bagian paling depan Lopi menyentuh air laut, Pandita Lopi akan memerintahkan warga untuk berhenti beberapa saat guna dilangsungkan Doa Ncao Mori(Doa Penyatuan Hidup). Doa yang dimaksud adalah bersalawat seraya menyelipkan Doa Keselamatan Lopi dan diakhiri Doa Sapu Jagat.

Pilihan hari guna dilangsungkan prosesing Kalondo Lopi juga dipercaya mampu menguatkan Lopi dari berbagai anuraga laut seperti badai dan gelombang. Pandita Lopi,Pande Lopi dan Pemilik Lopi biasanya melakukan mufakat terlebih dahulu dalam menentukan hari Kalondo Lopi. Biasanya diputuskan dengan menghitung mulai menjelang purnama malam ke 6 hingga 10. Hal ini juga bertepatan pasangnya air laut dipagi hari, sehingga Lopi bisa lebih cepat mencapai laut dan terdorong dengan baik.

Bagi Orang Sangiang Darat, Lopi Na’e dikenal dua jenis, yaitu Lopi Siwe (Kapal wanita) danLopi Mone (Kapal Lelaki). Bukan berkelamin, namun biasanya berdasarkan pada keruwetan perawatannya. Disebut Lopi Siwe karena cenderung mendadak ‘bocor’ (kemasukan air dibalka kapal) dan kerap terjadi pada saat Nci’I Wura (menjelang Bulan Purnama). Bocor disini, bukan bocor dalam artian sebenarnya yang terjadi di palka atau dasar Lopiberlubang atau retak, tetapi bocor tanpa lubang pun akhirnya terkuras dengan sendirinya. Bagi para Tekhnisi perkapalan Modern hal ini cenderung dianggap Mitos. Namun bagi warga Wera hal tersebut bisa dibuktikan dengan nyata. Bocor tanpa Lubang, itulah disebutLopi Siwe.

H. Achmad Ncuri (71 thn) sebagai Pande Lopi Wera sejak tahun 1985 berkisah banyak tentang prosesing pembuatan Lopi ini. Meski hal ini tidak dinamakan Phinisi layaknya di Sulawesi Selatan, pun Perahu Kayu di Bonerate Selayar. Namun proses pembuatannya hampir-hampir mirip. Yang membedakannya adalah ritual dan bentuk anjungan serta Palka kapal. Jenis kayu pun menjadi pembeda yang paling menonjol. Tetapi bila dilirik sekilas,Lopi dan Phinisi adalah sangat mirip.

Hal ini diakui pula oleh H. Syahruddin (77 thn), yang memang sudah menjadi asisten pembuatan Lopi Wera sejak tahun 50an. Pada tahun 1964, ia putuskan untuk menakhodai sendiri Lopi milik Warga Wera Sangiang yang saat itu masih berlayar kain. Belum modern seperti saat ini yang sudah menggunakan mesin Silinder bahkan mesin Kapal Besi Pencari Tuna buatan jepang. Dulu H.  Syahruddin berlayar membawa barang dari Bima ke Kalimantan selama 4 hari 4 malam. Dan itu dilakoninya hingga tahun 1996.   

Sebelum tahun 1964, setidaknya ada 6 Lopi yang dibuat oleh H. Syahruddin sebagaiasisten Pande Lopi. Dari pengalaman ikut menyaksikan sekaligus membuat Lopi itula, H. Syahruddin melaut dengan nama Lopi ‘Cinta Sejati’. Lopi tersebut ia buat pada tahun 1959, sebagai Lopi ke 5 yang dibuatnya bersama warga. Semua prosesing Pembuatan Lopi Weradari yang pernah dikerjakannya, unsur Bugis nya seakan-akan wajib ada atau masuk dalam proses pembuatan Lopi Wera. Hal ini sudah menjadi tradisi, baik penentuan bahan bakuLopi, SDM serta Nakhodanya kelak. Namun sekarang hal itu sudah tidak ada lagi, seluruh tenaga pembuatan hingga tenaga ABK (anak buah Kapal) diambil dari warga Wera sendiri dan lebih diutamakan yang masih dalam status keluarga dekat.

Saat ini Lopi Na’e di Wera Sangiang masih ada 2 unit yang sedang dikerjakan. Menurut Mandor Pengontrol pengerjaan akhir (Finishing), Ayang Sayifullah, bahwa pembuatan Lopidengan kapasitas atau Daya muat 500 hingga 900 Ton ini akan selesai sekitar pertengahan tahun 2016 sekaligus 2 unit. Proses awal pembuatan dimulai sejak tahun 2010 yang lalu, namun karena berat Lopi diperkirakan 60 -100 Ton per unit, maka proses pembuatannya pun cukup lama, sekitar 6 tahun. Walaupun ada juga pembuatan Lopi Na’e  di Pulau Sangiang, namun berkapasitas angkut sedang (60 - 75 Ton), dengan kemungkinan waktu proses pembuatannya hanya 2 tahun.

Share this article :

KLIK GAMBAR DIBAWAH INI UNTUK KE ARTIKEL LAINNYA