BISA APA POLITISI PEREMPUAN DI PARLEMEN

Naila Fitria 
Sekjen PB HMI 2018-2020 Program Manager Estetika Institute Lembaga Kajian Politik Perempuan


FORMASI anggota DPR RI periode 2019-2024 telah berubah. Ada sejumlah nama baru masuk komposisi alat kelengkapan dewan. Publik sudah melihat siapa saja wakilnya dan menunggu kinerja mereka. Ketidaksabaran tersebut bisa dipahami mengingat tingkat kepercayaan publik kepada DPR RI mulai habis. Dari hasil Survei LSI 2019 menemukan tingkat kepercayaan publik kepada DPR lebih buruk dari sebelumnya, yakni dari 1.220 responden, 84% di antaranya percaya terhadap kinerja KPK. Disusul Presiden (79%), Kepolisian (72%), Pengadilan (71%), dan DPR (61%).

Tingkat kepercayaan publik bukan tidak beralasan, mengingat banyak kebijakan yang tidak selesai. Padahal, kehadiran kebijakan tersebut sangatlah dibutuhkan. Pada minggu pertama setelah DPR RI periode 2019-2024 dilantik, masih saja mempertontonkan ketidakdisiplinan. Dari total 711 anggota DPR dan DPD, hanya 376 anggota yang hadir berdasarkan absensi yang dibacakan saat pembukaan sidang. Artinya, sebanyak 335 anggota lainnya tidak hadir dalam sidang paripurna MPR RI. Keesokan harinya, saat pemilihan Ketua MPR periode 2019-2024, lagi-lagi banyak anggota parlemen yang bolos. Berdasarkan daftar hadir, jumlahnya lumayan meningkat; 647 dari total 711 wakil rakyat yang terdiri dari DPR RI dan DPD RI.

RUU PKS merupakan alasan yang mana para legislatif perempuan periode lalu tidak begitu progresif dan hanya menimbulkan polemik di tataran masyarakat. Pada proses pembahasan RKUHP dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), banyak isu terkait hak perempuan dalam RUU tersebut yang mestinya menjadi medan ujian bagi politisi perempuan parlemen dalam membuktikan komitmen mereka sebagai politisi perempuan sekaligus representasi perempuan Indonesia umumnya.

Ketika publik menyuarakan protes atas nama norma-norma yang tidak menunjukkan pembelaan terhadap kaum perempuan, politisi perempuan yang ada di parlemen justru tak tampak bersuara. Legislatif perempuan merupakan yang paling banyak disorot dari kocok ulang anggota DPR RI periode saat ini.

Suara bermasalah
Kehadiran legislatif perempuan dari kalangan artis, milenial, dan trah politik keluarga masih dianggap abu-abu. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengemukakan komposisi dari 575 anggota DPR tersebut ialah 458 laki-laki dan 117 perempuan. Artinya, secara persentase jumlah anggota DPR laki-laki sebanyak 80% dan perempuan sebanyak 21%.

Perempuan masih dipersepsikan dalam membawa isu-isu gender pada setiap kebijakan yang menyentuh lebih banyak porsi hidup kalangan perempuan. Pada periode sebelumnya, perempuan parlemen lebih banyak menyentuh aspek gender dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan. Akan tetapi, secara konsistensi, ide legislatif laki-laki lebih kuat. Inilah mengapa suara perempuan bermasalah bukan karena porsi jumlah saja, melainkan juga menyangkut konsistensi perjuangan ide gender di DPR tidak sepenuhnya mewarnai.

Legislatif perempuan membutuhkan performa arah dalam membuat kebijakan yang partisipatif konstruktif bagi masyarakat, terutama kalangan perempuan. Dengan publik yang tidak sabar, semestinya RUU PKS segera dituntaskan. Kehadiran wajah perempuan baru cenderung sedikit menggeser kepercayaan publik dengan realisasi kebijakan-kebijakan populis. Keraguan tersebut karena kalangan perempuan sebagian besar tidak banyak memiliki catatat pengalaman dalam politik ataupun aktif di gerakan keperempuanan. Tentu ini merupakan syarat yang tidak membatasi bahwa perempuan juga berhak melakukan tindakan kepada kebijakan di berbagai bidang. Namun, isu gender dalam kebijakan menjadi salah satu raison d'etre dalam segenap persoalan.

Semestinya perempuan di parlemen tampil menjadi alternatif lain untuk menampung aspirasi. Anggota dewan perempuan harus mampu menampung aspirasi. Perempuan dapat menjadi alternatif kegagalan kinerja parlemen memenuhi fungsi tugas. Fungsi utama anggota dewan, yaitu legislasi atau membuat undang-undang. Kekuatan perempuan di parlemen tampil untuk mengisi kekosongan itu. Bahkan, jika RUU berasal dari individu dewan agar nama anggota legislatif itu ditulis dalam pengusulan RUU tersebut.

Perempuan harus juga menjadi alternatif pimpinan di parlemen. Kalau tidak ada, akan sulit perimbangannya. Perimbangan itu penting, tak ada alternatif suara berbeda antara anggota dewan laki-laki dan perempuan. Anehnya, perempuan itu selalu menjadi komponen terhadap kerja negatif parlemen secara umum. Salah satu kasus, apabila mayoritas pihak menyuarakan pelemahan KPK, anggota perempuan harus menyuarakan penguatan KPK. Sangat tidak mencerminkan keberimbangan.

Tantangan berat legilatif perempuan saat ini ialah menjawab keraguan dari figur pribadi setiap caleg yang tidak membentuk persepsi positif. Salah satu gerakan cepat dalam skala waktu dan mampu mengambil satu langkah kebijakan mandek periode sebelumnya. Kalau tidak segera, lalu bisa apa?

Sumber: MI

***
Share this article :

KLIK GAMBAR DIBAWAH INI UNTUK KE ARTIKEL LAINNYA