MBERE SARAMBA RO MBERE MBOHA


"Mbere saramba ura, Anae ededu Mbere makaraso Rasa. Mbere kadua woha oru ura edeku Mbere ma weha nawa re anaeee" (Kalimat Tua dari para orang tua)

Kalimat itu kerap kali masih kita dengar, teringat waktu kecil bersama teman-teman yang suka menantang mengarungi banjir besar dengan pelepah pisang (pati kalo: Bima). Moment yang paling indah dan ditunggu-tunggu ketika musim hujan tiba. Jika di sandingkan dengan olah raga arung jeram yang banyak digandrungi saat ini, sepertinya tidaklah sebanding, tapi itulah masa kecil yang tidak merasa takut mengarungi sungai ditengah arus yang cukup deras, karena memang sudah terbiasa dengan hal tersebut sejak 20 tahun yang lalu.


Dulu, datangnya musim hujan kita bisa memperkirakan atau memprediksinya, namun sering jalannya waktu atau memang alam sudah tidak bersahabat dengan kita, maka hal-hal atau tanda-tanda dari alam yang biasa dijadikan patokan tidak berlaku lagi. Seharusnya musim hujan malah musim kering atau sebaliknya. "Mbere saramba ro Mbere Mboha" (Banjir diawal musim hujan dan banjir tengah musim hujan atau puncak hujan).

Bencana Banjir Bandang Bima yang meluluhlantahkan Kota Bima pekan lalu, Hampir seluruh Masyarakat Bima berdampak serius atas banjir yang menerjang Kota Bima. Tak kenal miskin atau kaya, entah Ia penjahat atau penjahit, semua mengalami kerugian harta benda dan materi yang tidak sedikit.

Banjir Pencuci Harta

Saya lebih senang menyebutnya sebagai 'Banjir Pencuci Harta', terlepas ketiadaan korban jiwa, Namun harta yang ditumpuk setinggi gunung, tidak pernah di sedekahkan dan hanya dibangga-banggakan, dipamer-pamerin dengan segala keangkuhan dan kesombongan, kini luluhlantah diterjang banjir bandang, Semua terkuras dan hanyut tanpa bekas.

Entah sadar atau tidak, Kita angkuh dan congkak dimata orang lain. Namun keangkuhan itu tiba-tiba menghilang, yang tersisa dan terlihat sangat jelas pada pascabanjir, kita malah tidak sadar telah menjadi peminta-minta, Mengemis iba pada orang-orang yang sebelumnya diacuhkan, diremehkan bahkan dicaci maki.

Sadarlah, bahwa segala harta maupun materi yang kita punya, sebenarnya hanyalah peretas 'jalan kembali'. Kita tidak sadar bahwa kita hadir dari 'Ketiadaan' kemudian menjadi 'ada' dan kembali tiada, Namun atas nama 'Tegar' kita kembali tunjukan diri yang tidak sadar, Juga atas nama 'Kuat' kita kembali menampakkan keangkuhan atas apa yang telah terjadi. Kita lupa Tafakur, Lupa Intropeksi diri, yang ahirnya lupa diri.

Banjir Bandang Bima kemudian disusul Banjir Dasyat yang menerjang dan menghanyutkan apa saja yang dilaluinya mengagetkan semua orang, tanpa terasa air mata menetes dan tidak mampu lagi melihat begitu dasyat dan derasnya arus banjir, hanya istigfar dan istigfas hingga bertanya pada hati; Apa salah kami Ya Allah? Disaat itulah baru sadar, bahwa kita bukanlah siapa-siapa diatas Kehendak Allah SWT yang meluluhlantahkan alam CiptaanNya, agar Manusia Insyaf dan Pandai mensyukuri, bukan mengkufuri segala Nikmat yang telah Allah SWT berikan. 

Kesenambungan Alam semestinya harus tetap terjaga dan dilestarikan, bukan untuk dirambah dan terus menerus dirambah tanpa batas dengan segala keserakahan yang membabi buta, Jika tidak segera dihentikan, maka alam semakin tidak bersahabat dengan kita dan tentunya Allah SWT akan tambah Murka.

Penulis : Rangga Babuju
Editor : Abunawar Bima
Share this article :

KLIK GAMBAR DIBAWAH INI UNTUK KE ARTIKEL LAINNYA